Menikah dengan saudara kandung sendiri (Incest) ?
Incest sudah pernah terjadi pada zaman jahiliyah,
yaitu sebelum Muhammad diutus menjadi rasul. dan sekarang Incest ini terjadi
lagi.
Incest sudah mulai menjamur di jerman, dan sedang
diusulkan agar dilegalisasikan oleh pemerintah setempat. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa memilih pasangan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Jadi
siapapun bebas menentukan pasangan masing-masing. saat ini di negara-negara
barat hubungan sesama saudara ini kian mengalami peningkatan, dan itu bukan
lagi hal yang tabu di masyarakat modern.
Dengan dilegalkannya hubungan tersebut, maka
anak-anak yang akan mengalami cacat mental dan fisik akan meningkat, krna DNA
yang lemah dari masing-masing pasangan akan mendominasi, dan itu menyababkan
anak yang terlahir cacat.
Seharusnya maju itu ke arah yang positif (kebaikan
masa depan manusia) bukan kearah negatif yang bisa membawa kemusnahan manusia
itu sendiri.
Wanita yang haram dinikahi menurut agama islam
{وَلَا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ
ذَلِكُمْ} [النساء: 22، 24]
22. dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian. (An-Nisa; 22-24)
Semua wanita yang disebutkan dalam ayat di atas disebut
dengan Mahram (istilah yang tepat adalah Mahram, bukan Muhrim, karena Muhrim
bermakna orang yang berihram). Seluruh Mahram haram dinikahi dan berlaku
hukum-hukum kemahroman yang lain seperti boleh dilihat lebih dari muka dan
telapak tangan, menemani dalam perjalanan, dan sebagainya.
Dengan
memahami ayat di atas sekaligus sejumlah Nash hadis yang lain, perincian
wanita-wanita yang haram dinikahi dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.Ibu (اْلأُمُّ): yakni
wanita yang melahirkan kita, baik secara hakiki yakni yang melahirkan
secara langsung maupun majazi seperti ibunya ibu, ibunya ayah, dua nenek
ibu, dua nenek ayah, neneknya nenek, neneknya kakek, dan seterusnya ke atas
tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
2.Putri (الْبِنْتُ);
yakni wanita yang lahir karena benih kita, baik secara hakiki yakni putri
kandung maupun majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan
seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
3.Saudari (الأُخْتُ):
baik saudari sekandung, seayah, maupun seibu. Saudari dari tiga arah
seperti ini semuanya termasuk Mahram yang haram dinikahi
4.Bibi Patriarkal (العَمَّةُ):
yakni saudari ayah, baik status kekerabatan dengan ayah adalah saudari
sekandung, saudari seayah, maupun saudari seibu. Termasuk definisi ini adalah
saudari-saudari kakek, tanpa membedakan apakah kakek dari pihak ibu ataukah
dari pihak ayah, kakek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi.
Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi
5.Bibi Matriarkal (الْخَالَةُ);yakni
saudari ibu, baik status kekerabatan dengan ibu adalah saudari sekandung,
saudari seayah, maupun sudari seibu. Termasuk definisi ini adalah
saudari-saudari nenek, tanpa membedakan apakah nenek dari pihak ibu ataukah
dari pihak ayah, nenek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi.
Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi karena setiap nenek adalah ibu,
sehingga saudari nenek dihukumi bibi matriarkal yang haram dinikahi
6.Putrinya saudara (بِنْتُ اْلأَخِ);
yakni keponakan/kemenakan perempuan, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut
adalah putrinya saudara kandung, saudara seayah ataukah saudara seibu. Putrinya
saudara di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung
maupun majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke
bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
7.Putrinya saudari (بِنْتُ اْلأُخْتِ);
yakni keponakan/kemenakan perempuan juga, tanpa membedakan apakah keponakan
tersebut adalah putrinya saudari kandung, saudari seayah ataukah saudari seibu.
Putrinya saudari di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri
kandung maupun majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan
seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
8.Ibu Susu (الأُمُّ الْمُرْضِعُ): yakni wanita yang menyusui kita. termasuk dalam
definisi ini adalah ibunya ibu susu, neneknya ibu susu, demikian terus ke atas.
9. Saudari Susu (الأُخْتُ مِنَ الرَّضَاعَةِ). Ibu susu dihukumi seperti ibu kandung dalam hal kemahraman
nikah. karena itu, wanita yang telah menyusui kita, berarti putri wanita
tersebut adalah saudari kita yang haram dinikahi. Wanita yang disusui ibu kita,
berarti wanita tersebut adalah saudari kita karena ibu kita adalah ibu susunya.
Demikian pula jika kita menyusu pada seorang ibu susu asing dan ada wanita yang
juga menyusu pada ibu susu asing tersebut, dalam kondisi ini wanita itu juga
menjadi saudari kita yang haram dinikahi karena ibu susu kita dengan wanita
tersebut adalah ibu susu yang sama. Bahkan pada kasus Laban Lahl/susu pria (لَبَنُ اْلفَحْلِ)
hukum kemahroman tetap berlaku, meski beda yang menyusui. Maksud istilah Laban
Fahl, ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang lelaki menikahi empat wanita
kemudian masing-masing digauli sehingga punya anak dan menyusui. Kemudian ada
empat bayi perempuan asing yang masing-masing menyusu pada empat istri lelaki
tersebut, yakni satu bayi mendapat satu ibu susu. Lalu ada satu bayi laki-laki
yang menyusu pada salah satu istri lelaki tersebut.
Dalam kondisi ini, seluruh bayi wanita yang menyusu tadi statusnya adalah
saudari bagi bayi lelaki yang menyusu yang haram dinikahi. Hal itu dikarenakan,
meskipun yang menjadi saudari susu langsung bagi bayi lelaki tadi hanyalah satu
bayi wanita (mengingat keduanya memiliki satu ibu susu yang sama), sementara
tiga bayi wanita yang lain disusui ibu susu yang lain sehingga ibu susunya
tidak sama dengan ibu susu bayi lelaki tersebut, namun tiga bayi wanita
tersebut tetap dihukumi saudari karena seluruh wanita yang menyusui dalam kasus
ini bisa menyusui hanya disebabkan oleh benih yang ditanamkan lelaki yang
menjadi suaminya. Jadi, meskipun air susu para wanita itu berbeda-beda,
namun asalnya tetap satu, yakni benih suaminya. Karena suami yang “berperan”
membuat air susu para wanita yang menjadi istrinya itu bisa keluar, maka
“peran” ini dinamakan dengan istilah Laban Fahl (susu pria). Bukan susu dalam
arti hakiki, tapi majazi. Yakni prialah yang membuat air susu wanita menjadi
bisa keluar, sehingga seluruh susu yang terbit karena perannya ini semuanya
dihukumi satu susu, walaupun keluar dari wanita yang berbeda-beda.
10. Ibu Mertua (أُمُّ الزَّوْجَةِ);
yakni, ibu dari istri kita. Jika kita telah menikahi seorang wanita, maka ibu
dari istri kita langsung menjadi Mahram kita baik ibu karena nasab maupun
karena persusuan tanpa membedakan apakah ibu dekat ataukah ibu jauh. Hukum
kemahroman langsung berlaku setelah akad nikah dilakukan, tanpa memperhetikan
apakah istri sudah digauli ataukah tidak.
11. Putri Tiri (الرَّبِيْبَةُ);
yakni putri-putri istri. Namun, syaratnya istri harus disetubuhi agar hukum
kemahroman berlaku. Jika istri sesudah akad nikah belum digauli kemudian
dicerai, maka putri tiri belum menjadi Mahram sehingga boleh dinikahi. Putri
tiri ini tidak dibedakan apakah putri karena nasab ataukah putri karena
persusuan, juga tidak membedakan apakah putri dekat ataukah putri jauh, juga
tidak membedakan apakah putri yang mewarisi ataukah tidak.
12. Menantu Putri (حَلِيْلَةُ اْلابْنِ); yakni istrinya putra dan juga istri dari putranya putri,
tanpa membedakan apakah dari nasab ataukah persusuan, dekat ataukah jauh. Hukum
kemahroman ini berlaku hanya dengan dilakukannya akad nikah, tanpa
memperhatikan apakah wanita sudah digauli ataukah belum.
13. Ibu tiri (زَوْجَةُ اْلأَبِ);
yakni istri ayah, baik ayah dekat maupun ayah jauh, mewarisi ataukah tidak
mewarisi, karena nasab ataukah karena persusuan. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahkan
kepada seorang shahabat untuk membunuh lelaki yang menikahi istri ayahnya (ibu
tirinya). An-Nasai meriwayatkan;
سنن النسائي (10/ 477)
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ
لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ
تُرِيدُ قَالَ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ
أَوْ أَقْتُلَهُ
Dari Al Barra`, ia berkata; saya
berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya katakan; engkau
hendak pergi kemana? Ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah
kematiannya, agar saya penggal lehernya atau saya membunuhnya. (H.R.An-Nasai)
14.Menghimpun dua saudari
(الْجَمْعُ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ): yakni menikahi dua bersaudari untuk dipoligami, tanpa
membedakan apakah saudari karena nasab ataukah karena persusuan, juga tidak
membedakan apakah saudari sekandung, seayah, atau seibu, juga tidak
membedakan apakah menghimpun tersebut setelah menggauli istri yang sah ataukah
belum.
15. Menghimpun wanita dengan
bibinya (الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا
أَوْخَالَتِهَا): yakni
menikahi seorang wanita dengan dipoligami bersama bibinya. Larangan ini berlaku
tanpa membedakan apakah bibi yang dimaksud adalah bibi patriarkal ataukah bibi
matriarkal. Dasarnya adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (16/ 63)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ
وَخَالَتِهَا
Dari Abu Hurairah
radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau
ayah.” (H.R.Bukhari)
Lafadz Abu Dawud berbunyi;
سنن أبى داود – م (2/ 183)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ الْعَمَّةُ
عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلاَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ الْخَالَةُ عَلَى
بِنْتِ أُخْتِهَا وَلاَ تُنْكَحُ الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى وَلاَ الصُّغْرَى
عَلَى الْكُبْرَى ».
Dari Abu Hurairah, ia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh seorang
wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi
sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita
dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi
anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi
sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak
wanitanya.” (H.R.Abu Dawud)
16. Wanita yang telah
bersuami (الْمُحْصَنَةُ): yakni wanita yang telah menjalin akad nikah secara sah,
meskipun dengan syariat di luar Islam seperti pernikahan wanita Yahudi
atau wanita Nasrani.
17. Semua wanita yang ada
hubungan kekerabatan karena persusuan: misalnya ibu susu, putri karena
persusuan, saudari karena persusuan, bibi karena persusuan, putri saudara
karena persusuan, putri saudari kerana persusuan, dst. Dasarnya adalah hadis
berikut ini;
صحيح مسلم (7/ 328)
عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ
حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ
يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ
عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ
الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
Dari ‘Amrah
bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah)
mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di
rumahnya Hafshah, ‘Aisyah berkata; Maka saya berkata; “Wahai Rasulullah, ada
seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah”. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya kira fulan itu adalah
pamannya Hafshah dari saudara sesusuan.” Aisyah bertanya; “Wahai Rasulullah,
sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan-
apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan Mahram
sebagaimana hubungan karena kelahiran.” (H.R.Muslim)
Lafadz Bukhari berbunyi;
صحيح البخاري (9/ 124)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ
النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu
‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang putri Hamzah:
“Dia tidak halal bagiku karena apa yang diharamkan karena sepersusuan sama
diharamkan karena keturunan sedangkan dia adalah putri dari saudaraku
sepersusuan”. (H.R.Bukhari)
Makna hadis di atas; semua wanita yang diharamkan karena hubungan kekerabatan
nasab seperti ibu, putri, saudari, dan sebagainya maka hukum yang sama berlaku
pada wanita yang memiliki hubungan kekerabatan karena persusuan. Aisyah
dihitung Mahram bagi saudara Abu Al-Qu’ais karena istri Abu Al-Qu’ais pernah
menyusui Aisyah, sehingga hubungan kekerabatan antara Aisyah dengan saudara Abu
Al-Qu’ais adalah Aisyah menjadi putri saudara Abu ‘Al-Qu’ais karena persusuan.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (19/ 130)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
إِنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ اسْتَأْذَنَ
عَلَيَّ بَعْدَ مَا نَزَلَ الْحِجَابُ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا آذَنُ لَهُ حَتَّى
أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ أَخَا
أَبِي الْقُعَيْسِ لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَةُ
أَبِي الْقُعَيْسِ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي
وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَتُهُ قَالَ ائْذَنِي لَهُ فَإِنَّهُ عَمُّكِ
تَرِبَتْ يَمِينُكِ
Dari Aisyah sesungguhnya
Aflah saudara Abu Al Qu’ais pernah meminta izin untuk menemuiku setelah turun
(ayat) hijab, maka aku berkata; “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya
(masuk) sebelum aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, karena saudara Abu Al Qu’ais bukanlah orang yang menyusuiku, akan
tetapi yang menyusuiku adalah isterinya Abu Al-Qu’ais.” Beberapa saat kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, lalu aku berkata; “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya laki-laki itu bukanlah orang yang menyusuiku, akan
tetapi yang menyusuiku adalah isterinya, beliau bersabda: “Izinkanlah ia
(masuk) karena dia adalah pamanmu, semoga kamu beruntung!.” (H.R.Bukhari)
0 komentar:
Posting Komentar